Boleh
jadi, anak-anak zaman sekarang sama sibuknya dengan orangtua. Bahkan
bisa lebih sibuk. Sekolah seharian dari pagi hingga pukul tiga sore.
Setelah ashar hingga maghrib, les. Dari maghrib sampai isya’, belajar
mengaji. Lalu, usai isya’ hingga jam sembilan malam mengerjakan
pekerjaan rumah dan mengulang pelajaran sekolah.
Hasilnya,
anak-anak jebolan program seperti itu memang terlihat cerdas dan
berwawasan luas. Tetapi jika diperhatikan lebih jeli, mereka terlihat
bagai anak yang dewasa terlalu dini.
“Ibarat
buah yang matang karena dikarbit, cepat manis tetapi juga cepat busuk
serta kurang menunjukkan rasa buah yang sebenarnya,” kata Ihsan Baihaqi
Ibnu Bukhari, Direktur Auladi Parenting School, sekaligus master trainer
sekolah orangtua, Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA).
Menurut lelaki yang akrab dipanggil Abah ini, banyak orangtua yang saat ini terjangkit sindrom Ten Minutes Parents Club.
Sepuluh menit dalam mendidik dan mengasuh anak. Lima menit di pagi hari
yakni orangtua mengatakan kepada anak: mandi, baju, makan, dan sekolah.
Sedangkan di sore dan malam hari perintahnya adalah pulang, mandi,
makan, PR (belajar), dan tidur.
Namun
ketika anak bermasalah, dengan mudahnya orangtua menyalahkan lingkungan
dan pergaulan anak sebagai penyebabnya. Jika sudah seperti itu,
biasanya anak akan dibatasi secara berlebihan dalam bergaul. Bahkan ada
juga yang di kurung.
Pengaruh
buruk lingkungan pada anak, kata Abah, terjadi karena orangtua tidak
mempunyai pengaruh pada anak-anaknya. “Saat orangtua tidak bisa menjadi
tempat curhat, maka lingkunganlah yang menjadi pendengar setianya.
Intinya orangtua tidak berfungsi dan berperan sebagai orangtua,”
katanya.
Menurutnya,
lingkungan memang berpengaruh dalam membentuk karakter anak. Namun,
katanya, lingkungan hanya sebagai pelengkap tempat praktek anak
menerapkan pendidikan yang diperoleh dari keluarga.
Abah menjelaskan, lingkungan dibuat oleh orangtua. “Mau seperti apa situasi dan kondisinya, tergantung kita (orangtua, -red) bukan sebaliknya,” tuturnya.
Abah mengaku, hal demikian telah ia terapkan dalam mengasuh keempat
buah hatinya. Bersama istrinya, Leila Maysaroh, Abah berusaha selalu
menyediakan waktu yang berkualitas bagi keempat anaknya: Salma Alya
Ihsan (9 tahun), Syahid Mudzaky Ihsan (7 tahun), Syarifah Nurul Ihsan (4
tahun), dan si bungsuSaveero Attarayan Ihsan (7 bulan).
Maka
jangan heran, jika terdengar kisah bahwa Abah pernah membuat seseorang
menunggu selama berjam-jam karena bertamu ketika dia sedang mempunyai
acara khusus dengan anak-anaknya di rumah. “Mau siapa pun tamunya, pejabat atau menteri,” kata seorang alumni pelatihan PSPA bernama Yadi.
Berangkat
dari keprihatinan dia terhadap pola pengasuhan anak yang salah, pada
awal 2005, Abah menuangkan ide-idenya dalam sebuah majalah. Namanya Auladi, majalah idealis berharga miring. Sebab, harganya cuma dua kali lipat ongkos cetak.
Ibarat
kacang goreng, majalah tersebut laris manis. Para pembacanya malah
meminta Abah untuk menyampaikan secara langsung gagasannya dalam bentuk
pelatihan kepada para orangtua. Tahun itu pula Abah mendirikan lembaga
yang dia beri nama Auladi Parenting School atau Program Sekolah
Pengasuhan Anak (PSPA).
Dalam
pelatihan tersebut, Abah mendobrak pola kepengasuhan anak yang selama
ini dianggapnya salah. Di antaranya, anak sering diposisikan sebagai
obyek, selalu disalahkan, dilarang, dan dimarahi secara berlebihan. Maka, tidak sedikit orangtua yang menganggap anak sebagai sumber masalah.
“Padahal,
sejatinya, kesalahan anak adalah kesalahan orangtua dalam mengasuh.
Kalau kita mau telusuri dan jujur, anak-anak yang bermasalah itu pangkalnya adalah orangtua,” kata laki-laki kelahiran Subang, Jawa Barat ini.
Untuk
itu, kata Abah, jika anak ingin benar maka orangtua harus benar dalam
mengasuh buah hatinya. Karena 8o persen usia anak dari 0 tahun hingga 18
tahun waktunya dihabiskan dalam keluarga, maka peran orangtua sangat
dominan dalam membentuk karakter anak.
“Tidak harus menemani anak 24 jam sehari, karena anak juga ingin waktu untuk diri mereka sendiri,” kata pria yang di setiap training-nya mampu “mengaduk-aduk” suasana emosi peserta trainingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar